This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label campaign. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label campaign. Tampilkan semua postingan
Labels: ,

Perkebunan Sawit Tidak Sensitif Gender

Sebagai pengekspor CPO (crude palm oil) nomor satu dunia. Indonesia terus meningkatkan produksinya. Salah satunya dengan meluaskan lahan perkebunan sawit skala besar. Menurut Norman Jiwan, periset Sawit Watch, Indonesia pada 2007 telah mengekspor CPO hingga 17,4 juta ton. Jumlah ini untuk memenuhi permintaan India, China, Kenya, Afrika Selatan, dan Pakistan.

Namun setinggi-tingginya nilai ekspor dan nilai rupiah dari pajak yang diterima negara. Akan lain ceritanya jika berkunjung ke lokasi perkebunan sawit skala besar di lapangan. Di sana banyak ditemukan ketidakadilan berdasarkan “sensitivitas kelamin sosial” (sensitivitas gender).


Seorang ibu yang berasal dari Sepauk, Kalimantan Barat, mengatakan, “Kalau wilayah ini sudah ditanami sawit, kami tidak dapat makan nasi lagi”. Terdengar miris kata-kata yang keluar dari seorang ibu yang menyediakan kami makanan. Saat itu penulis meminta untuk menyampaikan tentang sisi lain dari perkebunan kelapa sawit.

Kriminalisasi juga kerap mengancam ibu-ibu yang mempertahankan tanahnya akibat terkena perluasan perkebunan sawit. Sebut saja Nursiha yang saat ini mendekam di jeruji sel. Ia kena tuduhan sebagai provokator oleh salah satu perusahaan perkebunan sawit di Ogan Kemering Ilir-Sumatra Selatan.


Pulang ke kampung halaman bagi Mardiana menjadi ketakutan tersendiri. Ia ditandai sebagai perempuan yang masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh polisi setempat, karena ibu satu anak ini menolak pembangunan perkebunan sawit di desanya.

Gambaran buruk perempuan yang menolak pembangunan dan perluasan perkebunan sawit tersebut telah mendorong Sawit Watch untuk menginisiasi sebuah pertemuan khusus, yang pesertanya para perempuan. Pertemuan dilaksanakan pada 2-5 Juni 2008 di Bogor, Jawa Barat, dengan peserta 23 orang, dari 9 propinsi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Para peserta kebanyakan adalah petani, buruh, dan pegawai negeri sipil.


Dari 23 peserta, ada dua orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Lalu, bagaimana mereka dapat berpartisipasi? Mereka dibantu peserta lain jika ada sesuatu yang mesti dituliskan. Semangat ingin tahu dua ibu-ibu ini tidak kalah dengan peserta lainnya.

“Saya merasa sangat puas dengan materi yang disampaikan dalam workshop ini, dari saya tidak tahu menjadi tahu, dari takut berjuang menjadi berani berjuang,” ungkap salah satu peserta. 

Demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam perlu memperhatikan sinsitivitas kelamin sosial (gender). Yang terjadi di pembangunan perkebunan sawit tidak sensitif gender.

0 comments
Labels: ,

PHK Masal, Buruh Demo

Krisis financial global dalam beberapa bulan terakhir membuat sejumlah perusahaan terpuruk, mengurangi produksi, bahkan sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (phk).Seiring dengan krisis tersebut, permintaan terhadap CPOpun melesu hingga harga CPO di pasaran turun drastis.

Untuk menyiasatinya, beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan pengencangan ikat pinggang, supaya kebangkrutan total tidak terjadi dalam kamus usaha mereka.Namun, situasi ini membuat ketar-ketir para buruh, apalagi buruh yang menyandang gelar buruh harian lepas.Dimana ia tidak mendapat fasilitas apapun jika terkena PHK.Sementara untuk merubah haluan kerja juga sudah tidak ada lagi harapan, karena disekeliling rumah sudah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

Tanggal 25 September 2008 lalu, bisa dikatakan hari naas untuk mereka yang bekerja di PT.Harapan Hibrida Kalimantan Barat bagian timur.Mereka para buruh diberhentikan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.Jumlah yang di PHK itu mencapai ribuan orang, ada 4 bagian diantaranya bagian pemupukan, pendongkelan, pemiringan dan penyemprotan.Pekerjan itu banyak dikerjakan oleh kaum perempuan, terkecuali bagian pendongkelan.

Perusahan ini menafik, bahwa pemecatan tersebut sebagai imbas krisis financial global, yang menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga di lapangan.Para buruhpun tidak tinggal diam dengan pemecatan sepihak ini, mereka melakukan demonstrasi,tepatnya tanggal 13 Januari 2009. Demonstrasi dilakukan di perbatasan kebun dan perusahaan, di depan pagar, tempat lalulintas truk masuk mengantar TBS (Tandan Buah Segar).

Dalam aksinya, para buruh itu menuntut mereka dipekerjakan sebagai buruh harian, namun perusahaan hanya bersedia mempekerjakan sebagai buruh kontrak atau borongan.Akan dipanggil jika ada kerjaan borongan, dan akan berakhir pula nasib mereka ,apabila pekerjaan itu sudah selesai kontrak, begitu seterusnya.Tentunya, system seperti ini menyulitkan posisi buruh.

Kesepakatan antara PT.Harapan Hibrida Kalimantan Barat bagian timur belum menemukan titik yang menguntungkan kedua belah pihak, padahal dialog sudah dilakukan.

2 comments
Labels: ,

Buruh Perkebunan: Kaum yang Terpinggirkan dari Zaman ke Zaman

Wacana yang dihembuskan pemerintah Indonesia berkenaan dengan pembukaan areal perkebunan kelapa sawit skala besar adalah akan meningkatkan pendapatan masyarakat, pembangunan dan perbaikan infrastruktur dan masih banyak lagi. Namun dalam realitasnya kemiskinan tidak serta merta dapat terentaskan dengan hadirnya perusahaan perkebunan skala besar itu. Bahkan kehadiran perusahaan sawit berbanding terbalik sampai 1800 dari apa yang di kampanyekan oleh perusahaan dan pemerintah.

Pemerintah memberikan kemudahan bagi para pemodal dalam berinvestasi di sektor perkebunan sawit melalui berbagai kebijakan berupa biaya produksi yang relatif murah. Misalnya saja upah buruh dan harga tanah. Pada akhirnya perkebunan sawit skala besar adalah sistem pertanian modern yang padat kapital dan teknologi dimana peran masyarakat banyak tak berarti sama sekali. Bisa disimpulkan perkebunan skala besar adalah usaha ekonomi yang lebih diabadikan demi kepentingan pasar internasional daripada kemaslahatan masyarakat banyak.Nafsu pemerintah menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia seakan-akan membuatakannya dari cara berpikir yang realistis dan sehat. Harus diakui pertumbuhan pesat jumlah perkebunan kelapa sawit di Indonesia sama sekali tidak mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keberadaan masyarakat di sekitar perkebunan yang menyerahkan alat produksinya (tanah) kepada perusahaan dengan iming-iming kemakmuran hanya di jadikan buruh harian lepas dengan gaji yang dibayar, sementara di level pimpinan kebun yang mendapat fasilitas penuh dan gaji yang relatif tingi didatangkan dari daerah atau pulau lain.

Pada 1951 adalah fase dimana orang-orang dari Pulau Jawa didatangkan ke lokasi perkebunan di Sumatra Utara untuk dijadikan buruh dalam jumlah besar. Alasan mendatangkan para buruh migran tersebut adalah para pendatang baru itu tidak akan melakukan usaha tani liar, dependensi yang tinggi terhadap perusahaan karena hidupnya hanya bergantung pada upah, kecil Banyak perusahaan pada masa itu menerapkan kebijakan tidak menyewa kembali buruh yang mengambil cuti panjang kembali ke Jawa. Policy ini bertujuan menahan sejumlah orang Jawa di Sumatra yang ingin pulang, tapi tetap tak ingin kehilangan pekerjaannya. Jadi sistem kerja yang dibangun adalah ikatan paksa tanpa perlindungan hak-hak cuti kaum buruh.

Selain itu perusahaan juga menggunakan tenaga buruh migran tadi hanya sebagai tenaga harian lepas, dimana perusahaan ingin melepaskan tanggung jawabnya berupa jaminan sosial dan jaminan lainnya yang memang diperuntukkan bagi buruh.
Penulis berkesempatan mengunjungi barak buruh dari salah satu group perkebunan besar yang berlokasi di Pasaman Barat, Sumatra Barat. Kondisi barak itu saat hujan datang tergenang air alias banjir dan sanitasi jauh dari layak. Sementara untuk level manajemen kebun, pemukiman tertata rapi dan memenuhi standar kesehatan untuk di huni.

Persolan lain kaum buruh di sektor perkebunan adalah rendahnya upah yang mereka terima. Di beberapa wilayah Indonesia seperti Pasaman Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, upah buruh harian lepas dihargai senilai Rp 17.500,- per hari. Upah yang sangat minim tadi bisa dipastikan tidak akan mampu untuk memenuhi keperluan pokok sehari-hari apalagi untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Apabila merunut kepada data penggolongan kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, maka penghasilan 2 dolar AS per hari (kisaran Rp 17.500,-) dengan tanggungan anak dan istri sudah dikategorikan sangat miskin. dan kaum buruh perkebunan sawit di Indonesia pasti ada dalam golongan tersebut.

Selain masalah upah yang minim, persoalan lain yang dihadapi kaum buruh perkebunan adalah tidak mencukupinya fasilitas kesehatan, kecelakaan kerja yang tidak ditanggung oleh pihak perusahaan bahkan tindakan pemecatan sepihak dari perusahaan yang bisa datang kapan saja.

Sebut saja misalnya nasib buruk yang menimpa Rokyati buruh kebun yang bekerja pada PT. SNS di Pulau Bangka. Dia diPHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa alasan yang jelas. Rokyati mengakui dia memang tidak bekerja selama satu bulan karena mengalami kecelakaan kerja. Pada saat memupuk tanaman sawit, tangan kanan Royakti patah. Rokyati sudah memberitahukan pada pihak manajemen perusahaan tentang kecelakaan tersebut tetapi pihak manajemen tidak memberi respon terhadap keluhan Royakti. Bahkan yang datang justru surat pemecatan dari perusahaan, dimana di dalam surat tersebut dinyatakan Royakti bahkan tak berhak atas pesangon sebagaimana yang telah diatur dalam UU NO 13/2003 tentang ketenaga-kerjaan (KOBA,24/05/2006).

Pada akhirnya relasi antara perusahaan dan buruh yang di bangun oleh sistem perkebunan skala besar dari tahun 1870 hinggga sekarang tak tampak ada perubahan yang signifikan untuk memperbaiki nasib kaum buruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah negara ini sudah merdeka bagi buruh perkebunan sawit, industri perkebunan tertua di Indonesia yang exist bahkan sebelum republik ini ada? (tien,dari berbagai sumber)

0 comments