Labels: ,

Penjual Cakue dan Biofuel

Berjualan cakue, satu-satunya penghasilan utama keluarga Ukar, dalam sehari ia membuat adonan cakue mencapai 3 kg saja.Ia berjualan di depan Sekolah Dasar. Pembelinya anak-anak, kadang ada juga orang dewasa.Ia menghidupi 4 anaknya dari berjualan cakue dengan sebuah gerobak. Sorot matanya memancarkan kesulitan dengan melonjaknya harga minyak goreng hingga Rp.13 ribu. Ia mengatakan kebingungan untuk menaikkan harga jualannya, takut tidak laku, karena hanya ini yang bisa melangsungkan kehidupan Ukar, anak, dan istri. Ukar bukan asli menetap di Bogor, ia mengadu nasib ke Bogor berjualan cakue. Ukar menyewa rumah sederhana untuk terbebas dari hujan dan panas.

Lain lagi dengan Saroh, penjual pangsit goreng ini mengeluhkan kenaikan harga minyak goreng hingga Rp.11 ribu. Dulu, ia bisa meraup untung hingga Rp.25 ribu dengan modal Rp.100 ribu. Sekarang, sama sekali tidak bisa berjualan. Padahal, ini penghasilan yang bisa melangsungkan kehidupan keluarganya.

Pemerintah, sepertinya menutup mata melihat kondisi real di masyarakat. Sektor kecilpun lumpuh dengan kenaikan harga minyak goreng, ditambah bahan pokok seperti terigu juga ikut naik. Pemerintah dalam hal ini tidak mengedapankan kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng curah, untuk menyelamatkan sektor informal dalam negeri. Mengurangi kuota ekspor CPO ke Eropa, China dan India, bisa dilakukan asal ada niat baik untuk mementingkan kebutuhan dalam negeri. Meskipun, harga CPO dipasaran cukup tinggi. Pemerintah harus memikirkan jutaan penduduk Indonesia akan kehilangan tempat usahanya, dan ini akan menambah daftar angka pengangguran Indonesia, jika tidak segera diatasi.

Boleh saja, ingin tampil terbesar menjadi produsen No.I di dunia, untuk mengalahkan Malaysia.Asal, bisa menyeimbangkan yang utama di dalam negeri. Tahun 2008 Indonesia akan menargetkan ekspor hingga 18 juta ton CPO, angka ini menaik dari tahun lalu sekitar 500 ribu. Peningkatan volume CPO ini, bisa diasumsikan karena faktor penambahan luasan kebun. Saat ini, 400-600 hektare kebun kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan dari sisi luasan setiap tahunnya. Sehingga, bisa dipastikan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan Tandan Buah Segar. Karena, Kebun sawit yang sudah lama masa tanamnya, akan menurun pada prodiktifitasnya. Logika yang digunakan pemerintah dengan menambah luasan kebun sawit, sehingga akan menambah juga dari sisi produktifitas, maka akan tercapai pula impian itu.

Dengan hasil CPO diatas, sesungguhnya pemerintah dapat menekan untuk tidak terlalu banyak menggelontorkan CPO ke luar negeri. Sekitar 45% saja CPO untuk dalam negeri, mungkin kelangkaan dan kemahalan harga tidak akan terjadi. Sesungguhnya, pasokan untuk kebutuhan dalam negeri hanya 5 juta ton saja.

Gabungan pengusaha minyak sawit Indonesia mendorong para produsen CPO untuk menggelontorkan CPO untuk pasokan dalam negeri.Diantaranya, PT.Lonsum, Sinar Mas Group dan PTPN. Namun, perusahaan lain yang menghasilkan volume produksi tinggi juga diminta untuk ikut serta secara aktif mengurangi kelangkaan, sehingga harga minyak dalam negeri bisa ditekan hingga Rp.5000 per kilogram. Peran pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan sekali untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi kecil. Pemerintah harus melihat bahwa sektor kecil juga akan membawa dampak baik pada perekonomian nasional Indonesia.

Harga minyak mahal hampir merata di seluruh Indonesia ini, begitupun di lokasi yang ada kebun sawitnya. Seperti Kabupaten Labuhan Batu, harga sama dengan wilayah lain. Padahal, disana berdiri sebuah perusahan besar perkebunan yang cukup lama dengan prioritas utama komoditi kelapa sawit. Rupanya, harga tidak berpengaruh disana. Perusahaan tidak berkontirbusi pada masyarakat terhadap harga minyak.

Kelangkaan harga minyak dapat dipicu oleh situasi eropa yang sedang berkampanye pada energi bahan bakar nabati yang berasal dari kelapa sawit. Masyarakat eropa menginginkan lingkungann bersih dari polusi, sehingga berinisiatif mengganti bahan bakar fosil dengan nabati. Tapi, mimpi itu akan menjadi mimpi buruk ketika Indonesia hutannya habis dikonversi ke kelapa sawit.Hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia akan berubah fungsi menyebarkan suhu panas pada dunia itu sendiri. Jadi, tidak tepat apabila kelapa sawit dijadikan alternatif sebagai bahan dasar biofuel.

Pemerintah akan menerapkan pajak ekspor untuk CPO, otomatis produsen CPO akan kebakaran jenggot. Akhirnya perusahaan menggunakan strategi menimbun CPO, maka yang terjadi kebalikannya, pemerintah yang kebakaran jenggot. Dari permainan ini yang dikorbankan masyarakat, terutama sektor kecil seperti home industry yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan utama untuk proses produknya.

Teori ekonomi mengajarkan, dalam berbisnis harus meraih keuntungan setinggi-tingginya. Prinsip ini pula dimainkan oleh para pengusaha minyak kelapa sawit. Mereka akan mencari pasar harga yang paling tinggi. Tidak akan melirik jeritan masyarakat pada lonjakkan harga .Hingga hari ini dunia pasar modal dengan basis komoditi kelapa sawit banyak diminati untuk perputaran harga pada jasa keuangan.

Hingga tulisan ini diturunkan, harga minyak masih seperti diatas, belum ada tanda-tanda penurunan.Padahal, Mentri Pertanian telah mengeluarkan keputusan tentang Pasokan CPO untuk kebutuhan dalam Negeri

Guna stabilisasi Harga Minyak Goreng Curah.Namun, belum ada perubahan harga yang cepat di pasaran dalam negeri.
Pemerintah harus ambil sikap tegas untuk urusan kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng, dalam rangka menyelamatkan sektor informal insudstri makanan dalam negeri. Ambisi individual dan rakyat seyogyanya bisa diseimbangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar