This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Lingkungan. Tampilkan semua postingan
Labels: ,

Tapak Harimau di Hutan Adat Guguk



Hawa sejuk dan hijau pepohonan, menyemburkan aroma khas hutan basah. Bagi warga kota, tempat ini cocok untuk pertukaran keluar masuk udara. Berganti dari udara penuh polusi beralih menghirup udara bersih.

Sejenak memandang sekeliling, sebelum melintas sungai Merangin, yang mengalir dari Kabupaten Kerinci menuju kabupaten Sarolangun, yang akan bermuara di sungai Tembesi. Sungai ini merupakan anak sungai Batanghari, yang akan mengakhiri perjalanannya di pantai sungai Sumatra. Ada rasa takjub pada warga desa Guguk, Kec. Merangin, Jambi, yang hingga kini masih merawat hutannya, untuk keberlanjutan iklim dunia dan anak cucu.

Melintasi  jembatan gantung  sepanjang 200 meter,  sebagai pintu gerbang  menuju hutan adat Guguk. Ada keasyikan tersendiri,  dan sedikit  was-was .  Jembatan  selalu bergoyang-goyang, saat dilewat.  Sempat mencuri pandang, dibawah jembatan,   tepatnya di pinggir sungai  Merangin,  nampak seorang nenek sedang  membasuh kain dan badan,  juga  dua orang laki-laki sedang mandi di sungai.  Ya, Sungai Merangin, bagi warga Desa Guguk,  masih berfungsi sebagai tempat mencuci  pakaian dan  mandi.

Luas hutan adat Guguk 690 ha,  memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, terdiri dari 116 jenis pohon,  seperti Tembesu, Kulim, Medang, dan Meranti.  Juga ada 91 jenis burung, seperti Rangkong, Murai batu, dan Sawai. 

Bahkan si kaki empat, Harimau Sumatra  masih menghuni hutan ini dengan nyaman. Ada Rusa dan kijang,  serta 21 jenis mamalia lain tinggal di kawasan  hutan adat ini. Pohon rotan, manau, jernang dan gaharu tumbuh subur di tempat ini.

Hutan bagi warga desa Guguk tak dapat dipisahkan. Selain terikat hubungan emosional, mereka juga meyakini bahwa dengan menjaga hutan. Kelak anak cucu akan selamat dari bencana. Seperti yang dilakukan Zul, lelaki berumur 46 tahun, dengan perawakan sedang ini, sudah akrab dengan hutan sejak puluhan tahun silam.

Keempat anak saya sudah naik ke puncak hutan Guguk, “ cerita Zul.  Lelaki  kurus ini bercerita menemani perjalanan, menuju hutan adat Guguk, sambil  menikmati kicauan burung Sawai, serta gerak-gerik monyet, yang bergelantungan diatas dahan pohon.

Sepanjang menyusuri anak-anak tangga menuju puncak hutan Guguk, Bang Zul banyak bercerita mengenai hal-ihwal hutan adat Guguk.  Bang Zul bisa dua kali dalam sehari masuk hutan untuk mengontrol. Keakraban dengan hutan Guguk menjadi bonus tersendiri,  Bang Zul bisa memahami kicauan suara burung-burung  di hutan adat Guguk.  Ramai  kicauan burung seperti mengucapkan selamat datang pada kami.  Bang Zul  menginterpretasikan kicauan burung di sana  seperti pertanyaan “mau ngapain manusia-manusia masuk hutan ini?”

Selang berapa menit, setelah puas menikmati kicauan burung. Rombongan sempat dikejutkan dengan ditemukannya sebuah tapak kaki hewan di tanah. Menurut Bang Zul itu tapak kaki Harimau.  Seumur hidup, baru sekali ini melihat tapak harimau. Diperkirakan,  harimau ini baru lewat sekitar 3 jam lalu. Keyakinan warga terhadap munculnya harimau , sebagai pertandan akan ada bencana. Kemunculan itu seperti memberikan informasi pada warga, untuk hati-hati.

Tidak boleh mengambil sembarangan yang ada di dalam hutan Guguk ini. Jika ada satu warga desa Guguk mengambil kayu berdiameter 50 cm, warga tersebut akan menerima hukuman adat dengan membayar 100 gantang, kerbau 1 ekor, selemah semanis, dan denda uang sebesar 3 juta rupiah. Namun, hingga saat ini belum ada warga yang melakukan pelanggaran adat. Jika hukum adat tidak berlaku, maka hukum sosial yang berlaku, di kucilkan dari warga.

“ Sebelum membentuk hutan adat, adat telah berfungsi lebih dahulu di Desa Guguk. Bagaimana memfungsikan adat? Ya, sesuai mufakat ninik mamak. Jika ada yang melanggar ketentuan adat dikenakan denda adat atau sangsi sosial. Tak ada anak tiri atau anak kandung, kalau salah dihukum,”  Syamsudin, lelaki tua yang juga   ketua adat Desa Guguk  penuh semangat menjelaskan soal hukum adat yang berlaku di Desa Guguk.

Saat ini, populasi Desa Guguk sebanyak  +  1450 jiwa,  70 % penduduk Desa Guguk bertani karetDi Desa Guguk tidak ada pertanian kelapa sawit.  Karena itu, masyarakat turut menjaga  kelestarian kawasan hutan adat Guguk, mereka tidak  berani melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan adat. Karena masyarakat Desa Guguk, masih memiliki keyakinan yang tinggi  terhadap tatanan adat, yang masih melekat dan dipertahankan hinggi kini.  Ikatan emosional dengan hutan adat Guguk  nampak dari makam nenek moyang mereka yang biasa dijumpai di hutan adat Guguk,  yang ditandai dengan batu ditengah-tengah hutan.

“Menjaga hutan ini, adalah kewajiban dan dilakukan secara penuh oleh warga, terlepas dari ada tidaknya apresiasi dari pemerintah, ujar Rojali salah satu tokoh adat.”

by: Kartini Susandi Subadra & Irma Susilawati



0 comments
Labels: ,

Perkebunan Sawit Tidak Sensitif Gender

Sebagai pengekspor CPO (crude palm oil) nomor satu dunia. Indonesia terus meningkatkan produksinya. Salah satunya dengan meluaskan lahan perkebunan sawit skala besar. Menurut Norman Jiwan, periset Sawit Watch, Indonesia pada 2007 telah mengekspor CPO hingga 17,4 juta ton. Jumlah ini untuk memenuhi permintaan India, China, Kenya, Afrika Selatan, dan Pakistan.

Namun setinggi-tingginya nilai ekspor dan nilai rupiah dari pajak yang diterima negara. Akan lain ceritanya jika berkunjung ke lokasi perkebunan sawit skala besar di lapangan. Di sana banyak ditemukan ketidakadilan berdasarkan “sensitivitas kelamin sosial” (sensitivitas gender).


Seorang ibu yang berasal dari Sepauk, Kalimantan Barat, mengatakan, “Kalau wilayah ini sudah ditanami sawit, kami tidak dapat makan nasi lagi”. Terdengar miris kata-kata yang keluar dari seorang ibu yang menyediakan kami makanan. Saat itu penulis meminta untuk menyampaikan tentang sisi lain dari perkebunan kelapa sawit.

Kriminalisasi juga kerap mengancam ibu-ibu yang mempertahankan tanahnya akibat terkena perluasan perkebunan sawit. Sebut saja Nursiha yang saat ini mendekam di jeruji sel. Ia kena tuduhan sebagai provokator oleh salah satu perusahaan perkebunan sawit di Ogan Kemering Ilir-Sumatra Selatan.


Pulang ke kampung halaman bagi Mardiana menjadi ketakutan tersendiri. Ia ditandai sebagai perempuan yang masuk daftar pencarian orang (DPO) oleh polisi setempat, karena ibu satu anak ini menolak pembangunan perkebunan sawit di desanya.

Gambaran buruk perempuan yang menolak pembangunan dan perluasan perkebunan sawit tersebut telah mendorong Sawit Watch untuk menginisiasi sebuah pertemuan khusus, yang pesertanya para perempuan. Pertemuan dilaksanakan pada 2-5 Juni 2008 di Bogor, Jawa Barat, dengan peserta 23 orang, dari 9 propinsi, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Riau, Jambi, dan Sulawesi Tengah. Para peserta kebanyakan adalah petani, buruh, dan pegawai negeri sipil.


Dari 23 peserta, ada dua orang yang tidak dapat membaca dan menulis. Lalu, bagaimana mereka dapat berpartisipasi? Mereka dibantu peserta lain jika ada sesuatu yang mesti dituliskan. Semangat ingin tahu dua ibu-ibu ini tidak kalah dengan peserta lainnya.

“Saya merasa sangat puas dengan materi yang disampaikan dalam workshop ini, dari saya tidak tahu menjadi tahu, dari takut berjuang menjadi berani berjuang,” ungkap salah satu peserta. 

Demokratisasi pengelolaan sumberdaya alam perlu memperhatikan sinsitivitas kelamin sosial (gender). Yang terjadi di pembangunan perkebunan sawit tidak sensitif gender.

0 comments
Labels: ,

PHK Masal, Buruh Demo

Krisis financial global dalam beberapa bulan terakhir membuat sejumlah perusahaan terpuruk, mengurangi produksi, bahkan sampai melakukan pemutusan hubungan kerja (phk).Seiring dengan krisis tersebut, permintaan terhadap CPOpun melesu hingga harga CPO di pasaran turun drastis.

Untuk menyiasatinya, beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit melakukan pengencangan ikat pinggang, supaya kebangkrutan total tidak terjadi dalam kamus usaha mereka.Namun, situasi ini membuat ketar-ketir para buruh, apalagi buruh yang menyandang gelar buruh harian lepas.Dimana ia tidak mendapat fasilitas apapun jika terkena PHK.Sementara untuk merubah haluan kerja juga sudah tidak ada lagi harapan, karena disekeliling rumah sudah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.

Tanggal 25 September 2008 lalu, bisa dikatakan hari naas untuk mereka yang bekerja di PT.Harapan Hibrida Kalimantan Barat bagian timur.Mereka para buruh diberhentikan secara sepihak tanpa alasan yang jelas.Jumlah yang di PHK itu mencapai ribuan orang, ada 4 bagian diantaranya bagian pemupukan, pendongkelan, pemiringan dan penyemprotan.Pekerjan itu banyak dikerjakan oleh kaum perempuan, terkecuali bagian pendongkelan.

Perusahan ini menafik, bahwa pemecatan tersebut sebagai imbas krisis financial global, yang menyebabkan terjadinya pengurangan tenaga di lapangan.Para buruhpun tidak tinggal diam dengan pemecatan sepihak ini, mereka melakukan demonstrasi,tepatnya tanggal 13 Januari 2009. Demonstrasi dilakukan di perbatasan kebun dan perusahaan, di depan pagar, tempat lalulintas truk masuk mengantar TBS (Tandan Buah Segar).

Dalam aksinya, para buruh itu menuntut mereka dipekerjakan sebagai buruh harian, namun perusahaan hanya bersedia mempekerjakan sebagai buruh kontrak atau borongan.Akan dipanggil jika ada kerjaan borongan, dan akan berakhir pula nasib mereka ,apabila pekerjaan itu sudah selesai kontrak, begitu seterusnya.Tentunya, system seperti ini menyulitkan posisi buruh.

Kesepakatan antara PT.Harapan Hibrida Kalimantan Barat bagian timur belum menemukan titik yang menguntungkan kedua belah pihak, padahal dialog sudah dilakukan.

2 comments
Labels: ,

Penjual Cakue dan Biofuel

Berjualan cakue, satu-satunya penghasilan utama keluarga Ukar, dalam sehari ia membuat adonan cakue mencapai 3 kg saja.Ia berjualan di depan Sekolah Dasar. Pembelinya anak-anak, kadang ada juga orang dewasa.Ia menghidupi 4 anaknya dari berjualan cakue dengan sebuah gerobak. Sorot matanya memancarkan kesulitan dengan melonjaknya harga minyak goreng hingga Rp.13 ribu. Ia mengatakan kebingungan untuk menaikkan harga jualannya, takut tidak laku, karena hanya ini yang bisa melangsungkan kehidupan Ukar, anak, dan istri. Ukar bukan asli menetap di Bogor, ia mengadu nasib ke Bogor berjualan cakue. Ukar menyewa rumah sederhana untuk terbebas dari hujan dan panas.

Lain lagi dengan Saroh, penjual pangsit goreng ini mengeluhkan kenaikan harga minyak goreng hingga Rp.11 ribu. Dulu, ia bisa meraup untung hingga Rp.25 ribu dengan modal Rp.100 ribu. Sekarang, sama sekali tidak bisa berjualan. Padahal, ini penghasilan yang bisa melangsungkan kehidupan keluarganya.

Pemerintah, sepertinya menutup mata melihat kondisi real di masyarakat. Sektor kecilpun lumpuh dengan kenaikan harga minyak goreng, ditambah bahan pokok seperti terigu juga ikut naik. Pemerintah dalam hal ini tidak mengedapankan kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng curah, untuk menyelamatkan sektor informal dalam negeri. Mengurangi kuota ekspor CPO ke Eropa, China dan India, bisa dilakukan asal ada niat baik untuk mementingkan kebutuhan dalam negeri. Meskipun, harga CPO dipasaran cukup tinggi. Pemerintah harus memikirkan jutaan penduduk Indonesia akan kehilangan tempat usahanya, dan ini akan menambah daftar angka pengangguran Indonesia, jika tidak segera diatasi.

Boleh saja, ingin tampil terbesar menjadi produsen No.I di dunia, untuk mengalahkan Malaysia.Asal, bisa menyeimbangkan yang utama di dalam negeri. Tahun 2008 Indonesia akan menargetkan ekspor hingga 18 juta ton CPO, angka ini menaik dari tahun lalu sekitar 500 ribu. Peningkatan volume CPO ini, bisa diasumsikan karena faktor penambahan luasan kebun. Saat ini, 400-600 hektare kebun kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan dari sisi luasan setiap tahunnya. Sehingga, bisa dipastikan akan berpengaruh positif terhadap peningkatan Tandan Buah Segar. Karena, Kebun sawit yang sudah lama masa tanamnya, akan menurun pada prodiktifitasnya. Logika yang digunakan pemerintah dengan menambah luasan kebun sawit, sehingga akan menambah juga dari sisi produktifitas, maka akan tercapai pula impian itu.

Dengan hasil CPO diatas, sesungguhnya pemerintah dapat menekan untuk tidak terlalu banyak menggelontorkan CPO ke luar negeri. Sekitar 45% saja CPO untuk dalam negeri, mungkin kelangkaan dan kemahalan harga tidak akan terjadi. Sesungguhnya, pasokan untuk kebutuhan dalam negeri hanya 5 juta ton saja.

Gabungan pengusaha minyak sawit Indonesia mendorong para produsen CPO untuk menggelontorkan CPO untuk pasokan dalam negeri.Diantaranya, PT.Lonsum, Sinar Mas Group dan PTPN. Namun, perusahaan lain yang menghasilkan volume produksi tinggi juga diminta untuk ikut serta secara aktif mengurangi kelangkaan, sehingga harga minyak dalam negeri bisa ditekan hingga Rp.5000 per kilogram. Peran pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan sekali untuk menghidupkan kembali sektor ekonomi kecil. Pemerintah harus melihat bahwa sektor kecil juga akan membawa dampak baik pada perekonomian nasional Indonesia.

Harga minyak mahal hampir merata di seluruh Indonesia ini, begitupun di lokasi yang ada kebun sawitnya. Seperti Kabupaten Labuhan Batu, harga sama dengan wilayah lain. Padahal, disana berdiri sebuah perusahan besar perkebunan yang cukup lama dengan prioritas utama komoditi kelapa sawit. Rupanya, harga tidak berpengaruh disana. Perusahaan tidak berkontirbusi pada masyarakat terhadap harga minyak.

Kelangkaan harga minyak dapat dipicu oleh situasi eropa yang sedang berkampanye pada energi bahan bakar nabati yang berasal dari kelapa sawit. Masyarakat eropa menginginkan lingkungann bersih dari polusi, sehingga berinisiatif mengganti bahan bakar fosil dengan nabati. Tapi, mimpi itu akan menjadi mimpi buruk ketika Indonesia hutannya habis dikonversi ke kelapa sawit.Hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia akan berubah fungsi menyebarkan suhu panas pada dunia itu sendiri. Jadi, tidak tepat apabila kelapa sawit dijadikan alternatif sebagai bahan dasar biofuel.

Pemerintah akan menerapkan pajak ekspor untuk CPO, otomatis produsen CPO akan kebakaran jenggot. Akhirnya perusahaan menggunakan strategi menimbun CPO, maka yang terjadi kebalikannya, pemerintah yang kebakaran jenggot. Dari permainan ini yang dikorbankan masyarakat, terutama sektor kecil seperti home industry yang menggunakan minyak goreng sebagai bahan utama untuk proses produknya.

Teori ekonomi mengajarkan, dalam berbisnis harus meraih keuntungan setinggi-tingginya. Prinsip ini pula dimainkan oleh para pengusaha minyak kelapa sawit. Mereka akan mencari pasar harga yang paling tinggi. Tidak akan melirik jeritan masyarakat pada lonjakkan harga .Hingga hari ini dunia pasar modal dengan basis komoditi kelapa sawit banyak diminati untuk perputaran harga pada jasa keuangan.

Hingga tulisan ini diturunkan, harga minyak masih seperti diatas, belum ada tanda-tanda penurunan.Padahal, Mentri Pertanian telah mengeluarkan keputusan tentang Pasokan CPO untuk kebutuhan dalam Negeri

Guna stabilisasi Harga Minyak Goreng Curah.Namun, belum ada perubahan harga yang cepat di pasaran dalam negeri.
Pemerintah harus ambil sikap tegas untuk urusan kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng, dalam rangka menyelamatkan sektor informal insudstri makanan dalam negeri. Ambisi individual dan rakyat seyogyanya bisa diseimbangkan.

0 comments
Labels: ,

Buruh Perkebunan: Kaum yang Terpinggirkan dari Zaman ke Zaman

Wacana yang dihembuskan pemerintah Indonesia berkenaan dengan pembukaan areal perkebunan kelapa sawit skala besar adalah akan meningkatkan pendapatan masyarakat, pembangunan dan perbaikan infrastruktur dan masih banyak lagi. Namun dalam realitasnya kemiskinan tidak serta merta dapat terentaskan dengan hadirnya perusahaan perkebunan skala besar itu. Bahkan kehadiran perusahaan sawit berbanding terbalik sampai 1800 dari apa yang di kampanyekan oleh perusahaan dan pemerintah.

Pemerintah memberikan kemudahan bagi para pemodal dalam berinvestasi di sektor perkebunan sawit melalui berbagai kebijakan berupa biaya produksi yang relatif murah. Misalnya saja upah buruh dan harga tanah. Pada akhirnya perkebunan sawit skala besar adalah sistem pertanian modern yang padat kapital dan teknologi dimana peran masyarakat banyak tak berarti sama sekali. Bisa disimpulkan perkebunan skala besar adalah usaha ekonomi yang lebih diabadikan demi kepentingan pasar internasional daripada kemaslahatan masyarakat banyak.Nafsu pemerintah menjadikan Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia seakan-akan membuatakannya dari cara berpikir yang realistis dan sehat. Harus diakui pertumbuhan pesat jumlah perkebunan kelapa sawit di Indonesia sama sekali tidak mempercepat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keberadaan masyarakat di sekitar perkebunan yang menyerahkan alat produksinya (tanah) kepada perusahaan dengan iming-iming kemakmuran hanya di jadikan buruh harian lepas dengan gaji yang dibayar, sementara di level pimpinan kebun yang mendapat fasilitas penuh dan gaji yang relatif tingi didatangkan dari daerah atau pulau lain.

Pada 1951 adalah fase dimana orang-orang dari Pulau Jawa didatangkan ke lokasi perkebunan di Sumatra Utara untuk dijadikan buruh dalam jumlah besar. Alasan mendatangkan para buruh migran tersebut adalah para pendatang baru itu tidak akan melakukan usaha tani liar, dependensi yang tinggi terhadap perusahaan karena hidupnya hanya bergantung pada upah, kecil Banyak perusahaan pada masa itu menerapkan kebijakan tidak menyewa kembali buruh yang mengambil cuti panjang kembali ke Jawa. Policy ini bertujuan menahan sejumlah orang Jawa di Sumatra yang ingin pulang, tapi tetap tak ingin kehilangan pekerjaannya. Jadi sistem kerja yang dibangun adalah ikatan paksa tanpa perlindungan hak-hak cuti kaum buruh.

Selain itu perusahaan juga menggunakan tenaga buruh migran tadi hanya sebagai tenaga harian lepas, dimana perusahaan ingin melepaskan tanggung jawabnya berupa jaminan sosial dan jaminan lainnya yang memang diperuntukkan bagi buruh.
Penulis berkesempatan mengunjungi barak buruh dari salah satu group perkebunan besar yang berlokasi di Pasaman Barat, Sumatra Barat. Kondisi barak itu saat hujan datang tergenang air alias banjir dan sanitasi jauh dari layak. Sementara untuk level manajemen kebun, pemukiman tertata rapi dan memenuhi standar kesehatan untuk di huni.

Persolan lain kaum buruh di sektor perkebunan adalah rendahnya upah yang mereka terima. Di beberapa wilayah Indonesia seperti Pasaman Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, upah buruh harian lepas dihargai senilai Rp 17.500,- per hari. Upah yang sangat minim tadi bisa dipastikan tidak akan mampu untuk memenuhi keperluan pokok sehari-hari apalagi untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Apabila merunut kepada data penggolongan kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, maka penghasilan 2 dolar AS per hari (kisaran Rp 17.500,-) dengan tanggungan anak dan istri sudah dikategorikan sangat miskin. dan kaum buruh perkebunan sawit di Indonesia pasti ada dalam golongan tersebut.

Selain masalah upah yang minim, persoalan lain yang dihadapi kaum buruh perkebunan adalah tidak mencukupinya fasilitas kesehatan, kecelakaan kerja yang tidak ditanggung oleh pihak perusahaan bahkan tindakan pemecatan sepihak dari perusahaan yang bisa datang kapan saja.

Sebut saja misalnya nasib buruk yang menimpa Rokyati buruh kebun yang bekerja pada PT. SNS di Pulau Bangka. Dia diPHK secara sepihak oleh perusahaan tanpa alasan yang jelas. Rokyati mengakui dia memang tidak bekerja selama satu bulan karena mengalami kecelakaan kerja. Pada saat memupuk tanaman sawit, tangan kanan Royakti patah. Rokyati sudah memberitahukan pada pihak manajemen perusahaan tentang kecelakaan tersebut tetapi pihak manajemen tidak memberi respon terhadap keluhan Royakti. Bahkan yang datang justru surat pemecatan dari perusahaan, dimana di dalam surat tersebut dinyatakan Royakti bahkan tak berhak atas pesangon sebagaimana yang telah diatur dalam UU NO 13/2003 tentang ketenaga-kerjaan (KOBA,24/05/2006).

Pada akhirnya relasi antara perusahaan dan buruh yang di bangun oleh sistem perkebunan skala besar dari tahun 1870 hinggga sekarang tak tampak ada perubahan yang signifikan untuk memperbaiki nasib kaum buruh. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah negara ini sudah merdeka bagi buruh perkebunan sawit, industri perkebunan tertua di Indonesia yang exist bahkan sebelum republik ini ada? (tien,dari berbagai sumber)

0 comments