Hawa sejuk dan hijau pepohonan, menyemburkan
aroma khas hutan basah. Bagi warga kota,
tempat ini cocok untuk pertukaran keluar masuk udara. Berganti dari udara penuh
polusi beralih menghirup udara bersih.
Sejenak memandang sekeliling, sebelum melintas sungai Merangin, yang mengalir dari Kabupaten Kerinci menuju kabupaten Sarolangun, yang akan bermuara di sungai Tembesi. Sungai ini merupakan anak sungai Batanghari, yang akan mengakhiri perjalanannya di pantai sungai Sumatra. Ada rasa takjub pada warga desa Guguk, Kec. Merangin, Jambi, yang hingga kini masih merawat hutannya, untuk keberlanjutan iklim dunia dan anak cucu.
Sejenak memandang sekeliling, sebelum melintas sungai Merangin, yang mengalir dari Kabupaten Kerinci menuju kabupaten Sarolangun, yang akan bermuara di sungai Tembesi. Sungai ini merupakan anak sungai Batanghari, yang akan mengakhiri perjalanannya di pantai sungai Sumatra. Ada rasa takjub pada warga desa Guguk, Kec. Merangin, Jambi, yang hingga kini masih merawat hutannya, untuk keberlanjutan iklim dunia dan anak cucu.
Melintasi jembatan gantung sepanjang 200
meter, sebagai pintu
gerbang menuju hutan adat Guguk. Ada keasyikan
tersendiri, dan sedikit was-was . Jembatan selalu bergoyang-goyang,
saat dilewat. Sempat mencuri pandang, dibawah jembatan, tepatnya di pinggir sungai Merangin, nampak seorang nenek sedang membasuh kain dan badan, juga dua orang laki-laki
sedang mandi di sungai. Ya, Sungai Merangin, bagi
warga Desa Guguk, masih berfungsi
sebagai tempat mencuci pakaian dan mandi.
Luas hutan adat
Guguk 690 ha, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, terdiri dari
116 jenis pohon, seperti Tembesu, Kulim, Medang, dan Meranti. Juga ada 91 jenis
burung, seperti Rangkong, Murai batu, dan Sawai.
Bahkan si kaki empat, Harimau Sumatra masih menghuni hutan ini dengan nyaman. Ada Rusa dan kijang, serta 21 jenis mamalia lain tinggal di kawasan hutan adat ini. Pohon rotan, manau, jernang dan gaharu tumbuh subur di tempat ini.
Bahkan si kaki empat, Harimau Sumatra masih menghuni hutan ini dengan nyaman. Ada Rusa dan kijang, serta 21 jenis mamalia lain tinggal di kawasan hutan adat ini. Pohon rotan, manau, jernang dan gaharu tumbuh subur di tempat ini.
Hutan bagi
warga desa Guguk tak dapat dipisahkan. Selain terikat hubungan emosional,
mereka juga meyakini bahwa dengan menjaga hutan. Kelak anak cucu akan selamat
dari bencana. Seperti yang dilakukan Zul, lelaki berumur 46 tahun, dengan perawakan sedang ini, sudah akrab dengan hutan sejak
puluhan tahun silam.
“Keempat anak
saya sudah naik ke puncak hutan Guguk, “ cerita Zul. Lelaki kurus ini bercerita menemani
perjalanan, menuju hutan adat Guguk, sambil menikmati kicauan burung Sawai, serta gerak-gerik
monyet, yang bergelantungan diatas dahan pohon.
Sepanjang menyusuri anak-anak tangga menuju
puncak hutan Guguk, Bang Zul banyak bercerita mengenai hal-ihwal hutan adat Guguk.
Bang Zul
bisa dua kali dalam sehari masuk hutan untuk mengontrol. Keakraban dengan hutan Guguk menjadi bonus
tersendiri, Bang Zul
bisa memahami
kicauan suara burung-burung di hutan adat Guguk. Ramai kicauan burung seperti mengucapkan
selamat datang pada kami. Bang Zul menginterpretasikan kicauan burung di
sana seperti pertanyaan “mau ngapain
manusia-manusia masuk hutan ini?”
Selang berapa menit, setelah puas menikmati kicauan burung. Rombongan
sempat dikejutkan dengan ditemukannya sebuah tapak kaki hewan di tanah. Menurut
Bang Zul itu tapak kaki Harimau. Seumur hidup,
baru sekali ini melihat tapak harimau. Diperkirakan, harimau ini baru
lewat sekitar 3 jam lalu. Keyakinan warga terhadap munculnya harimau
, sebagai pertandan akan ada bencana. Kemunculan itu seperti
memberikan informasi pada warga, untuk hati-hati.
Tidak boleh mengambil sembarangan yang ada di
dalam hutan Guguk ini. Jika ada satu warga desa Guguk mengambil kayu
berdiameter 50 cm, warga tersebut akan menerima hukuman adat dengan membayar
100 gantang, kerbau 1 ekor, selemah semanis, dan denda uang sebesar 3 juta
rupiah. Namun, hingga saat ini belum ada warga yang melakukan pelanggaran adat.
Jika hukum adat tidak berlaku, maka hukum sosial yang berlaku, di kucilkan dari
warga.
“ Sebelum
membentuk hutan adat, adat telah berfungsi lebih dahulu di Desa Guguk.
Bagaimana memfungsikan adat? Ya, sesuai mufakat ninik mamak. Jika ada yang
melanggar ketentuan adat dikenakan denda adat atau sangsi sosial. Tak ada anak
tiri atau anak kandung, kalau salah dihukum,” Syamsudin, lelaki tua yang juga ketua adat Desa Guguk penuh semangat menjelaskan soal hukum adat yang berlaku di
Desa Guguk.
Saat ini, populasi Desa
Guguk sebanyak + 1450 jiwa, 70 % penduduk Desa Guguk bertani karet.
Di Desa Guguk tidak ada pertanian kelapa sawit. Karena itu, masyarakat turut
menjaga kelestarian kawasan hutan
adat Guguk, mereka tidak berani
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan adat. Karena masyarakat
Desa Guguk, masih memiliki keyakinan yang tinggi terhadap tatanan adat, yang masih melekat
dan dipertahankan hinggi kini. Ikatan emosional
dengan hutan adat Guguk nampak dari makam nenek moyang mereka yang biasa dijumpai di hutan adat Guguk, yang ditandai
dengan batu ditengah-tengah hutan.
“Menjaga hutan ini, adalah kewajiban dan dilakukan secara penuh oleh warga, terlepas dari ada tidaknya
apresiasi dari pemerintah, ujar Rojali salah satu tokoh adat.”
by: Kartini Susandi Subadra & Irma Susilawati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar